Kompetensi SDM Indonesia Masih Rendah
INILAH.COM, Bandung – Indeks kompetensi Indonesia masih terbilang rendah. Berdasarkan World Economic Forum 2013, Indonesia menempati urutan ke-50 atau lebih rendah dari Singapura (urutan ke-2), Malaysia (urutan ke-20) dan Thailand (urutan ke-30).”Untuk tingkat Asean saja, kita tergolong di peringkat bawah, kita hanya diatas Filipina dan Kamboja,” Ketua Komisi Lisensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Mohammad Najib kepada wartawan, Jumat (30/8/2013).Dia menjelaskan data tersebut menunjukkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia masih kurang mumpuni. Lemahnya SDM tersebut disebabkan pekerja yang ada belum memiliki kualifikasi sehingga kalah dengan tenaga kerja dari negara lain.
Lebih lanjut dituturkannya, kualitas yang rendah itu tak sejalan dengan jumlah SDM Indonesia yang berlimpah. Akibatnya, potensi Sumber Daya Alam (SDA) juga menjadi terbengkalai karena tidak dieksplorasi secara maksimal.
“SDA yang berlimpak akan menjadi percuma jika tidak didukung SDM yang baik,” katanya.
Menurutnya, Indonesia perlu berkaca kepada negara maju yang memiliki SDA terbatas. Negara-negara di eropa bisa maju karena fokus pengembangan ‘Human Capital’.
Melihat kondisi itu, sertifikasi kompetensi perlu digenjot agar SDM indonesi memiliki daya saing. Sertifikasi juga dinilai penting agar pekerja lokal memiliki keunggulan kompetitif di pasar kerja nasional maupun internasional.
Dia menilai pemerintah telah berupaya agar kompetensi SDM Indonesia bisa berdaya saing. Namun, program pengembangan yang dijalankan harus terintergrasi dan komprehensif satu sama lain. “Tren kompetensinya sudah naik tapi masih pelan,” jelasnya.
Namun demikian, kebutuhan dana pengembangan SDM terbilang tinggi dan tidak sebanding dengan anggaran yang dimiliki pemerintah. Karena itu, pemanfaatan dana dari swasta perlu dimaksimalkan seperti CSR, dan lainnya.
Pemerintah melalui Kemendikbud dianggap telah dalam jalur pengembangan kompentensi SDM yang tepat, dengan cara memperbanyak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Seperti diketahui, komposisi jumlah SMK ditargetkan sebanyak 60% sedangkan sekolah umum hanya 40%.
Akan tetapi program itu harus beriringan dengan penyesuaian kurikulum yang fokus terhadap keahlian profesi. Ahli profesi yang dilahirkan juga harus sesuai dengan standar dan permintaan industri. “Sekolah harus memiliki hubungan baik dengan industri,” pungkasnya. [gin]
Tinggalkan Balasan